Posting Terbaru

Followers

Powered By Blogger

Sabtu, 07 Januari 2012

Akhirnya Mulyono Bisa ke ITB

ITB
Perawakannnya kecil dan kurus, penampilannya sederhana, dan bicaranya agak malu-malu. Ia berasal dari sebuah desa yang dikelilingi ladang jagung di Dusun Ngampel Kurung, Kecamatan Papar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Sekalipun tidak banyak orang yang tahu, ia adalah seorang yang turut mengharumkan nama bangsa Indonesia di kancah internasional.
Mulyono (18) adalah salah seorang peraih medali perunggu dalam Olimpiade Biologi Internasional (IBO) 2004 di Brisbane Autralia, Juli 2004. Sebelumnya, ia meraih penghargaan honorable mention DALAM IBO 2003 di Belarusia. Untuk sampai ke tingkat internasional, Mul, demikian panggilan akrabnya, telah menjadi juara di tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional.

Prestasi membanggakan itu membuatnya diterima di Program Studi Mikrobiologi Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui program ujian saringan masuk (USM). Kenyataan itu bukannya membuat dia gembira, malah bingung.  “Waktu dikasih tahu saya diterima, seketika dhueeeeng .. Saya langsung berpikir mengenai biaya SPP dan biaya hidup disana”  paparnya ketika ditemui di rumahnya hari Minggu (1/8) lalu.
Mul bercerita, kesulitan terbesar yang dialami selama hidupnya selalu berkenaan dengan masalah keuangan. Ia berasal dari keluarga sangat sederhana. Sejak ayahnya meninggal, ketika ia masih berusia selapan (35 hari), ibunya harus bekerja keras di Surabaya, sementara Mul hanya tinggal bersama neneknya yang sudah tua.  Karena pada dasarnya ia anak yang pandai, sejak bersekolah di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Srikaton I hingga Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Pare, Mul selalu mendapatkan beasiswa, untuk meringankan beban biaya sekolah yang harus ditanggung ibunya.
“Beasiswa itu hanya cukup untuk membayar BP3, sedangkan untuk buku-buku harus mengeluarkan uang sendiri. Saya bekerja sejak Mul kecil hingga sebesar sekarang, dan jarang bertemu dengannya,” tutur sang ibu, Mujiyati, yang ditemui beberapa hari sebelumnya.
Ia bercerita tentang keinginan besar Mul untuk sekolah di SMAN 2 Pare yang merupakan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) terbaik di Kabupaten Kediri. “Ia tidak mau sekolah kalau tidak di SMAN 2 Pare”  katanya.
Maka, dengan berbekal uang Rp 2.200 setiap hari, Mul mengayuh sepeda yang dia miliki sejak kelas empat SD menuju ke jalan besar di Maduretno – yang berjarak sekitar empat kilometer – ke tempat angkutan yang akan membawanya ke Pare. Sepedanya dia titipkan dengan ongkos Rp 200. Lalu ia naik angkutan umum ke sekolahnya – Sekitar 10  kilometer jauhnya – dan untuk itu harus membayar Rp 2.000 untuk pergi pulang. “Ia tidak membawa uang untuk jajan, hanya cukup untuk naik angkutan kota. Biasanya, untuk sarapan saja dia makan masakan  yang saya masak sore sebelumnya,” tutur Mujiyati menceritakan.
Waktu itu kehidupan begitu sulitnya bagi mereka, tetapi Mul tidak pernah mengeluh. Begitu seringnya Mul bolak balik ke Bandung membuat ibunya berhenti bekerja untuk menemani neneknya. Sekarang ia mengerjakan apa saja di ladang para tetangganya. “Waktu tahu Mul diterima di ITB, saya juga ikut bingung. Saya sudah tidak bekerja lagi di Surabaya, sementara biaya yang ada belum cukup,” kenang Mujiyati.
Biaya yang harus dibayarkan untuk masuk ITB sebesar Rp 45 juta, sementara biaya persemester Rp 1,7 juta. Belum lagi biaya untuk kos setiap bulan dan biaya makan setiap harinya. Jika biaya itu tidak bisa dipenuhi, ia terancam tak bisa memenuhi cita-citanya yang baru, menjadi seorang peneliti.
Sebelumnya ia sangat ingin menjadi dokter. Namun cita-cita mulia itu harus ditinggalkan karena ia tidak bisa lolos di Penjaringan Bibit Unggul Berprestasi (PBUB) Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. “Saya  heran, mengapa tidak bisa lolos. Padahal, syarat utamanya adalah  juara olimpiade nasional atau finalis olimpiade internasional. Waktu  itu saya memenuhi kedua kriteria tersebut, tapi entah mengapa tidak  diterima,” kenang Mul dengan nada penasaran. Padahal, jika diterima  di PBUB itu, semua biaya kuliah selama 4 tahun gratis. Ia sudah  membayangkan beberapa kemudahan yang bisa dinikmatinya, apalagi biaya hidup di Yogyakarta tak setinggi di Bandung.
Namun cita-cita itu  harus kandas dan Mul harus banting setir ke ITB yang kemudian  membawanya ke berbagai kebingungan. Akan tetapi, kebingungan itu  tidak membuatnya putus asa. Mul mengajukan beasiswa ke PT Sampoerna,  yang juga berakhir dengan penolakan. “Mungkin mereka salah tangkap,  mengira saya meminta beasiswa untuk kuliah S1 di luar negeri. Karena  itu, mereka memberi syarat, saya harus meraih medali emas di olimpiade international itu untuk bisa mendapat beasiswa dari mereka.  Padahal yang saya inginkan adalah beasiswa untuk kuliah S1 di dalam  negeri,” paparnya.
Mul sendiri selalu menabungkan uang yang diperolehnya dari berbagai kompetisi yang diikutinya. “Saya mendapat uang saku, uang transpor  selama di pembinaan, juga dari dari juara olimpiade. Semua saya  tabung. Saya harus sangat hemat,” kata Mul. Namun sehemat-hematnya  Mul mengeluarkan uang, tetap saja tabungannya tidak mencukupi biaya  kuliah persemester dan biaya hidup di Bandung.
Api semangat Mul tidak padam, apalagi dukungan dari orang-orang di sekitarnya sangat besar. “Anak itu memang pandai dan selalu juara kelas. Mul juga aktif dan lincah meskipun agak tertutup. Ia juga senang membantu menerangkan teman-temannya jika ada yang bertanya tentang berbagai pelajaran, sampai kadang-kadang merelakan jam istirahatnya ,” ujar guru pembimbing Biologi SMAN 2 Pare, Isrowiyati.
Dengan sukarela, para guru pembimbing mengarahkannya dan membantu kebutuhannya jika Mul akan berangkat ke Bandung untuk pembinaan di ITB. Para guru pembimbing adalah tempat bertanya bagi Mul. Kepada mereka, Mul bisa berterus terang tentang berbagai hal, termasuk kesulitan yang dialaminya. “Kami sedang mengupayakan bantuan dari berbagai pihak, seperti Dinas Pendidikan. Karena kepada dinas sedang sakit, belum ada kelanjutannya. Kabar terakhir, alumni SMAN 2 Pare dan SMAN 2 Kediri bersedia memberikan bantuan untuk biaya hidup Mul sampai tamat di Bandung,” ujar kepala SMAN 2 Pare Sukadi.
Sekarang, Mul boleh berlega hati. Banyak pihak sudah bersedia membantunya. Ia tidak lagi berpikir tentang uang yang harus dia keluarkan untuk biaya kuliah maupun biaya hidup selama di Bandung. Setidaknya, ia bisa mulai mencapai idealismenya untuk menjadi orang yang berguna bagi banyak orang. “Setidaknya apa yang saya hasilkan  bisa membuat orang lain senang meskipun mereka tidak mengenal saya.  Dan itu sudah membuat saya puas,” ujar Mul mantap.
Mulyono, dengan motto hidupnya “Badai pasti berlalu” penuh percaya  diri menyongsong hidupnya. Ladang-ladang jagung di sekitar desanya  menunggu untuk diteliti. “Saya percaya, jika sekarang saya  berada  dalam kesulitan, beberapa jam, menit, atau detik lagi saya  akan  keluar dari masalah itu,” katanya menutup perbincangan.
Dikutip dari Kompas, Rabu 4 Agustus 2004 hal. 1
Coba bayangkan, seandainya anda berada pada posisi Mulyono diatas, kira-kira apa yang akan anda lakukan ? Hidup miskin di sebuah kota kecil, bersepeda 8 kilometer PP setiap hari, dengan uang Rp 2.200 yang hanya cukup untuk transportasi, dan tidak ada sisa untuk uang jajan. Pulang sekolah dalam keadaan lelah, masih punya kewajiban untuk merawat neneknya yang telah lanjut usia. Kehidupan seperti ini anda lakukan setiap hari selama bertahun-tahun. Dalam keadaan seperti itu, adakah anda masih punya impian untuk melangkah ke kehidupan yang lebih baik ?
Hampir setiap orang mungkin akan menjawab,”. Saya ini kan Cuma anak  seorang miskin dari desa. Jangankan mikirin kuliah di ITB, untuk  makan sehari-hari aja susah.  Ya sudah, ini adalah takdir dari Tuhan.  Kita terima saja dan kita syukuri, karena masih diberi hidup sampai  hari ini”. Memang benar takdir berasal dari Tuhan. Namun jangan lupa, bahwa kita juga diberi akal budi untuk MENGUBAH takdir kita tersebut.  Masalahnya, apakah kita akan MENGGUNAKAN KESEMPATAN untuk mengubah  takdir tersebut atau tidak.
Dalam menggunakan kesempatan inipun, masih ada lagi halangannya. Ada orang yang berkata “Saya akan coba” dan ada pula yang bertekad “Saya  harus berhasil”. Saya akan coba berarti “Saya akan mengerjakannya,  tapi mungkin bisa gagal lho ….”. Masih ada  pesimisme dalam kalimat  tersebut. “Saya harus berhasil” menunjukkan  total komitmen untuk  menyelesaikan apa yang ditelah dimulai sampai  selesai.  Untuk  mencapai impian memang tidak mudah. Anda harus berani MEMBAYAR harganya. Harga itu bisa berupa uang, waktu, atau kerja keras.
Mulyono, dalam artikel diatas, hanya sedikit orang yang menggunakan kesempatan tersebut dan membayar harganya dengan kerja keras yang luar biasa.
Rekan-2 Resensinet sekalian, saya yakin sebagian besar dari anda saat ini mempunyai kondisi jauh diatas kondisi Mulyono. Lalu, apa yang menghalangi anda untuk sukses ?
Mungkin saat ini anda mempunyai impian, tapi anda melihat kondisi anda saat ini tidak memungkinkan untuk mencapai impian anda tersebut. Dan mungkin impian anda saat ini sudah terkubur jauh di dalam hati anda. Gali kembali impian itu dan kejar, karena masalahnya bukan DIMANA anda sekarang, tapi KEMANA anda ingin melangkah.
HANYA ORANG YANG BERANI MEMBAYAR HARGANYA DENGAN PENGORBANAN YANG AKAN MENCAPAI IMPIANNYA.
Sukses Untuk Anda !!!

Sumber :  http://www.resensi.net/akhirnya-mulyono-bisa-ke-itb/2007/12/#more-149

3 komentar

dEmiena vIEarfanfa

lha kapan ue ka ITB???

DWI YOGA WIBAWA

Biar waktu yang menjawab, hahahahaha

Anonim

Saved as a favorite, I like your blog!
Here is my web-site ; Crime Scene Cleanup Brisbane

Loading....

Posting Komentar

Saya sangat mengharapkan komentar dari anda