Para peneliti tersebut, antara lain dari Centre National de la Recherche Scientifique (CNRS), Institut de Recherche pour le Développement (IRD), Université Paul Sabatier dan Université de Pau, menjelaskan
bahwa merkuri (Hg) merupakan satu-satunya logam berat yang ditemukan dalam bentuk gas di atmosfir. Sejak era revolusi industri, emisi anthropogenic merkuri sisa pembakaran bahan bakar fosil telah melampaui emisi merkuri alami.
Baik emisi anthropogenic dan emisi alami, terutama dari penguapan air di samudera dan gas yang dikeluarkan oleh gunung berapi, telah mencapai kawasan kutub akibat pergerakan di atmosfir.
Akibatnya, polusi atmosfir global menambah deposit merkuri di ekosistem kutub yang kemudian dilepas kembali ke atmosfir.
Di atmosfir kutub utara, merkuri dioksidasi ke dalam bentuk deposit yang tersimpan di cryosphere (salju atau es). Setelah itu, ketika es mencair, bentuk teroksidasi ini kemudian di mobilisasi kembali dan ditransformasikan ulang lewat proses physicochemical dan biologis menjadi dalam bentuk racun methylmercury (CH3Hg).
Merkuri dalam bentuk beracun inilah yang dicerna oleh makhluk hidup. Ia berakumulasi melalui rantai makanan dan bisa mencapai konsentrasi satu juta kali lebih tinggi dibanding merkuri yang ada di permukaan air.
Temuan ini sendiri akan dipublikasikan di jurnal Nature Geoscience.
“Dengan memblokir sinar matahari, es bisa mempengaruhi pelepasan dan transfer racun merkuri yang ada di permukaan air samudera kutub utara ke atmosfir,” kata Jeroen Sonke, peneliti dari CNRS, seperti dikutip dari ScienceDaily, 20 Januari 2010.
Artinya, Sonke menyebutkan, iklim memegang peranan sangat penting pada siklus merkuri dan pelepasan merkuri ke atmosfir semakin banyak dengan melelehnya es di kutub utara. Dan pemanasan global akan membuat semakin banyak merkuri dilepaskan ke atmosfir.
bahwa merkuri (Hg) merupakan satu-satunya logam berat yang ditemukan dalam bentuk gas di atmosfir. Sejak era revolusi industri, emisi anthropogenic merkuri sisa pembakaran bahan bakar fosil telah melampaui emisi merkuri alami.
Baik emisi anthropogenic dan emisi alami, terutama dari penguapan air di samudera dan gas yang dikeluarkan oleh gunung berapi, telah mencapai kawasan kutub akibat pergerakan di atmosfir.
Akibatnya, polusi atmosfir global menambah deposit merkuri di ekosistem kutub yang kemudian dilepas kembali ke atmosfir.
Di atmosfir kutub utara, merkuri dioksidasi ke dalam bentuk deposit yang tersimpan di cryosphere (salju atau es). Setelah itu, ketika es mencair, bentuk teroksidasi ini kemudian di mobilisasi kembali dan ditransformasikan ulang lewat proses physicochemical dan biologis menjadi dalam bentuk racun methylmercury (CH3Hg).
Merkuri dalam bentuk beracun inilah yang dicerna oleh makhluk hidup. Ia berakumulasi melalui rantai makanan dan bisa mencapai konsentrasi satu juta kali lebih tinggi dibanding merkuri yang ada di permukaan air.
Temuan ini sendiri akan dipublikasikan di jurnal Nature Geoscience.
“Dengan memblokir sinar matahari, es bisa mempengaruhi pelepasan dan transfer racun merkuri yang ada di permukaan air samudera kutub utara ke atmosfir,” kata Jeroen Sonke, peneliti dari CNRS, seperti dikutip dari ScienceDaily, 20 Januari 2010.
Artinya, Sonke menyebutkan, iklim memegang peranan sangat penting pada siklus merkuri dan pelepasan merkuri ke atmosfir semakin banyak dengan melelehnya es di kutub utara. Dan pemanasan global akan membuat semakin banyak merkuri dilepaskan ke atmosfir.
Sebuah tim yang terdiri dari peneliti asal Prancis dan Amerika Serikat baru-baru ini menemukan bahwa es di laut memegang peranan penting dalam siklus merkuri di kutub utara.
• VIVAnews
0 komentar
Posting Komentar
Saya sangat mengharapkan komentar dari anda